CANDU PILRES
By : kontributorSatu Minggu telah berlalu, daku resah tanpa bisa berlalu, saat rekan satu meja harapan, masih berkubang dendam beda pilihan.
Aah, candu itu memang sulit dan terasa pahit, sesulit ketika toa berdengung didepan telinganya minta menyudahi. Aku membaca tutur kata kalimat itu teramat liar, seliar hutan rimba yang tanpa ujung dan ngarai.
Padahal pesta telah usai, tapi ramainya belumlah selesai. Beberapa di antara masih ada yang terbuai, pikiran terbungkus dan terkungkung oleh keengganan akui kenyataan.
Satu hari itu memang jadi pilihan penentu, kemana tiap-tiap kita melangkah akan dibawa kemana, tapi toh ini bukan dalam persoalan yang subtansial karena sesungguhnya kita masih mencari sesuap nasi dengan cara kita sendiri.
Biarlah, teman. Aku ajak kau berjalan, jika didepan jauh perlu kita langkahkan kaki sebab disekitar kita masih ada yang tersakiti, oleh keadaan, oleh kejamnya dunia, oleh adilnya yang sepihak. Tak harus jauh, didekat kita ada ketidak becusan terbiarkan.
Marilah, tengok. Siapa didepan, belakang, samping, kiri dan kanan, sudahkah kita tahu apa yang terjadi, karena bisa jadi yang didepan sedang menunggu perhatian. Sudahi candu pilpresmu karena bisa jadi itu fatamorgana saja, ada saatnya kita jalani sebenarnya, ada saatnya kita berhenti disini karena yang pasti-pasti sudah tentu sedang menunggu.
Kembalilah...
tetap berpijak disini ditempat ini kita ngopi lagi
-ciawi 23/2/2024
LEGENDA LANGIT
By : kontributorGaruda renta megibaskan sayap,
Di antara banteng kelimpungan.
Dan burung kecil kelaparan,
Terbang gagah, bulunya rontok.
Anak banteng kecil di pelukannya,
Dari kumpulan banteng angkuh.
Garuda bertepi di batu besar,
Singgasana pandangannya jauh.
Tak kuat lagi terbang, ia sadar,
Titah jauh, anak banteng meneruskan.
Mengasuh juga anak rajawali,
Untuk terbang di langit biru.
Perselisihan pun tak terelakkan,
Siapa yang urus sangkar dan singgasana.
Saling diam, akrab di tujuan,
Garuda mangkat, tinggalkan pertanyaan.
Banteng kecil dan rajawali bertengkar,
Namun, dari satu keturunan yang berkuasa,
Mereka bersatu, bersaudara.
Garuda hilang, banteng kecil tumbuh,
Jiwanya kokoh, rajawali legowo.
Bersama, menjaga warisan yang suci.
Jaga negeri.
PARA ANASIR YANG MEMINIMALISIR
By : kontributorMateri yang disiarkan/dibagikan/broadcast secara berulang-ulang, baik berupa potongan video atau tulisan, meskipun kesahihan dari sumber tersebut masih abu-abu atau bahkan tidak jelas, tetap saja menjadi faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat kita. Kita mungkin terdidik dari rangkaian ke engganan untuk menelisik lebih dalam tentang suatu keabsahan informasi.
Benar atau salah, itu selalu menjadi dinomer sekiankan. Yang terpenting adalah video/narasi tersebut menarik, membidik, dan menyerang dengan target mengelabui, mendownkan mental pendukung dari yang berlawanan. Ada yang lupa ataukah memang tidak sengaja menutup mata atau memang buta terbutakan oleh fanatisme yang mungkin saja isi didalamnya terbumbui berbagai rasa. Entah itu rasa ideologi, rasa kebersamaan pernah dalam satu naungan yang tidak berdasarkan ideologi, atau memang ada rasa lain bernama kepentingan kelompok dan golongannya.
Menurut saya, hal ini sangat memprihatinkan. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus selalu berpikir kritis dan memverifikasi setiap informasi yang kita terima sebelum membagikannya ke orang lain. Kita harus memastikan bahwa informasi yang kita bagikan adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, media sosial dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi yang benar dan akurat, tetapi juga dapat menjadi alat yang sangat berbahaya jika digunakan dengan tidak benar. Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati dan memastikan bahwa kita menggunakan media sosial dengan bijak.
Dalam hal ini, saya ingin menekankan pentingnya literasi media dan kritis dalam masyarakat kita. Kita harus memastikan bahwa masyarakat kita memiliki akses ke informasi yang benar dan akurat, dan bahwa mereka memiliki keterampilan yang diperlukan untuk memverifikasi informasi tersebut. Kita juga harus memastikan bahwa masyarakat kita memiliki minat baca yang tinggi dan bahwa mereka terus belajar dan berkembang sepanjang hidup mereka.
Dalam hal ini, saya ingin mengajak semua orang untuk menjadi bagian dari solusi. Mari kita semua berkomitmen untuk memerangi hoaks dan informasi palsu, dan untuk memastikan bahwa kita semua menggunakan media sosial dengan bijak. Mari kita semua menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis, dan mari kita semua bekerja sama untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan lebih toleran.
oleh : portalcisaruainstitute
BUNDA, BENDERANYA PUSAKA
By : kontributorPernah kita mendengar merah dan putih terpisah dirajut disatukan menjadi satu, jaman sebelum kita yang disini, saat ini membaca terlahir kedunia. Mungkin, ada banyak tafsir tentang warna pada waktu itu, sekalipun hanya berisikan dua warna menyambung jadi satu kibaran merah putih diantara barisan-barisan tubuh lusuh tanpa pernah mengeluh, ditengah lapangan atau diantara parit dengan teriakan merdeka-merdeka..
Mereka Pemberontak!
bagi tamu asing yang berkuasa, memenjarakan pribumi dengan dalih perlawanan pada penguasa. Ya! Penguasa masa itu berbaju putih menunggang kuda-kuda atau kuda besi pembawa mesiu yang siap dikokang kapan saja, sang asing yang datang dari negeri berkecamuk peperangan singgah di Nusantara mengadu domba perang saudara.
Ada banyak darah dan sisa tulang berserakan, leluhur kita disiksa ditikam dan dihabisi hingga mati. Berkeringat perih mata mengedip, kulit yang teramat licin, otot yang sudah mungkin ribuan kali keram, memanggul bambu-bambu yang runcing, berlari-lari teriak seraya memekikan lafadz takbir. Bangsa mana yang mau di perintah dan dijajah.
Duaaar ....
meriam meletus diatas bukit koloni, sawah becek jadi arena perebutan kemenangan, pejuang berteriak lantang. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
amarah itu sudah memuncak, takutpun tak terpikirkan, ingin mati sudah pasti dari pada pasrah terjajah. Satu tekad melawan tanpa pertahanan, merebut merdeka bersdaulat.
Disebuah rumah menerawang kehalaman atau alun-alun kota, gemgagempita itu belum terlihat dan terdengar tapi sulaman bendera telah disiapkan. Bunda Fatma merajut menyulam menjahit jadi satu dengan ukuran dua kali tiga meter disebuah ruang makan, kala itu Bunda Fatma mengandung sembilan bulan, Bunda dengan teliti dan hati-hati merapihkan kain yang pada waktu itu serba terbatas, berurai air mata, Bunda Fatma menjahit menyulam bendera, menangis menahan sesaknya rasa sakit Bagaimana fase mencapai kemerdekaan harus banyak jiwa dikorbankan.
Dua hari Bunda Fatma bekerja keras menyelesaikan, ditengah kehamilannya yang sudah sembilan bulan, Tanganya masih saja menari-nari, matanya serius memandang setiap kaitan benang merapatkan barisan sulaman. Ini seperti pilosofi bagaimana saling mengaitkan bersama sejajar akan saling menguatkan.
Bunda bahagia, ini bukan perkara karya tapi proses mengenalkan identias bangsa. Sekian ratusan tahun akhirnya kita tahu bahwa merah dan putih jadi benderanya Indonesia. Hadir berkibar di deklarasi proklamasi.
Bengkulu, menyemaikan sejarah Indonesia, sebuah bendera lahir dari tangan seorang wanita, istri dari pada yang akhirnya menjadi sang proklamator. Setelah masa keterasingan, Bunda menorehkan sejarah pusaka, Benar! Sebuah bendera yang hanya miliki dua warna namun saktinya mampu menyatukan nusantara.
-puncakbogor, 14 Agustus 2023
ASING JADI BISING
By : adminpenulisDisclaimer! Penulis bukan bagian dari pendukung salah satu Bacapres/Capres
SENJA DI KALI CIESEK
By : kontributorAda canda yang membuatku ingat, ketika kita duduk disenja sore hari. Rambut terurai harum tercium dengan keadaan kita yang semakin terbuai suasana. Wajahmu memerah ketika gelak tawa, ada asa seperti yang sudah lama di nanti-nanti.
Aku tak punya kuasa menolak ketika senda gurau itu datang, karena inilah momen yang mengisi kekosongan kita selama dari ketiadaan kita tidak bertemu yang cukup lama. Ketika padangan itu datang aku yang justru tersipu malu, entah mengapa aku menunduk tiada untaian kata selain merasa bahwa hari itu indah.
Saat itu gerimis mulai turun, angin menerpa tubuh yang terasa dingin ini, aku butuh peluk tidak hanya kamu, aku butuh dekapan tidak hanya sekedar berdekatan. Aku pikir kita sedang di mabuk cinta percintaan dimana pikiran terasa goyang oleh godaan.
Kala terang alam redup berganti menuju malam kita beranjak, bergeser meninggalkan tempat yang hari ini menjadi pelengkap coretan dan cerita. Aku masih ingat kita berdua bersenja-senja disore hari di pinggir kali Ci Esek Cisarua.
Dulu kita tidak sedekat ini, satu untaian satu kehidupan, bahkan tak pernah terbayang untuk merajut kebersamaan. Aku rasa ini sudah takdir, walaupun prosesnya getir. Kita maklumi tiap perjalanan manusia tak ada yang sama, namun bukan berarti tak satu tujuan.
Jika teringat dimasa kita merajut asmara, ada senyum dan pedih ketika pikiran terpancing ke masa lalu. Seperti inilah bumbu dari kehidupan setiap orang. Mungkin! semua memiliki kisah dimasa pencarian, tentang pelabuhan hati dan sandaran dan bukan sekedar keinginan.
-puncakbogor 2011-
OPINI DAN MORALITAS
By : kontributorAda batas waktu, pagi akan berakhir siang, siang berakhir sore, sore berakhir malam, dan pada akhirnya malampun kembali berakhir jadi pagi.
Tak ada setiap generasi yang menginginkan generasi ke generasi menjalani kehidupan dengan beragam hiperbola yang mengandung umpatan yang merendahkan, terlebih umpatan terucap dari manusia-manusia terpilih yang jadi pusat perhatian.
Kita adalah manusia timur, dengan adat budaya dan agama yang menjunjung tinggi bagaimana menempatkan kesakralan dalam penghormatan lintas kehidupan. Kita sepakat bahwa kondisi azas-azas penghormatan bukan berarti harus mengkultuskan. Keberadaban adalah dimana kita mampu menjaga dan menempatkan setiap yang ada pada tempatnya hingga bisa diwariskan pada yang selanjutnya.
Ungkapan yang berhiperbola lebih dari konteks memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung siapa yang menarasikan, jika yang menarasikan adalah masyarakat biasa tidak memiliki jangkauan pengaruh memiliki 'sense' biasa-biasa saja. Namun, tentunya, narasi yang disampaikan satu manusia dengan pengaruh yang luas biasa maka implikasi yang dihasilkan memiliki side siffect luar biasa.
Side effect tiru meniru terjadi tidak hanya pada ruang private tapi juga pada kehidupan publik. Melunturkan keberadaban, mengikis rasa toleransi atau penghormatan bahkan puncaknya bisa saja membiaskan dogma-dogma agama yang dimana agama memberi pengajaran tentang etika kesantunan. Kita tidak ingin melihat kesemrautan manusia dengan kehidupan liar.
Sentimentil menjadi biasa, ungkapan yang bukan lagi mengarah pada kapasitas tapi lebih ke personal itu bisa membawa tatanan keadaban kita sebagai manusia menjadi lebih buruk, bahkan lebih dari itu membunuh kebiasaan rasa batas kita sebagai manusia, merusak dan merobek-robek nalar hingga bisa berakhir pada puncaknya meniadakan kita pada cara berpandang realita sebagai manusia yang harus mengakui keberagaman perbedaan.
Kita sadar kritik harus pada tempat dan konsepnya, mengkritisi akan terlihat elegan jika memiliki dasar yang jelas. Namun sekali lagi, bukan berarti narasi yang membabi buta dengan kandungan diksi-diksi kebencian yang teramat memilukan yang bisa berdampak rusaknya moral kita sebagai manusia kita ikuti . Kitapun perlu otokritik sebagai pondasi dasar adanya usaha dan cara bagaimna membenahi diri kita sebelum bernarasi tentang yang lain.
Menakar
Kritik adalah respon dari suatu penilaian yang objektif bukan subjektif, logis dan mampu diterima oleh setiap orang, respon itu memang layak diberikan terhadap suatu keadaan yang dianggap bisa melahirkan potensi sebab akibat pada suatu masalah.
Tidak ada yang aneh, bahwa kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan batas kita dalam berprilaku dan berprikemanusiaan. Kebebasan merupakan fase dari rasa bebas dengan memberikan ruang-ruang penghormatan bagaimana pada akhirnya kebebasan itu tercipta, kebebasan lahir dari rahim penghormatan yang bersifat ekpresif dengan segala bentuk ekspresinya.
Kebebasan harus tetap menempatkan kemuliaan, kemuliaan disini adalah penghormatan pada terciptanya rasa bebas, jika rasa bebas diperjuangkan tapi tidak melihat konteks batas-batas maka ia bukan sebuah kebebasan. Ada tanggungjawab ada konsekuensi ada etika, ketika keinginan kebebasan yang di agungkan haruslah tanpa memasung hak yang menentang kebebasan itu sendiri. Tapi itulah realita bahwa keinginan harus menghormati dari yang tidak menginginkan. Kita adalah entitas manusia yang memiliki peran berpikir.
Bebas, bukan selalu berartian demokrasi tanpa konsekuensi dan sebuah kebebasan yang benar-bebas. Jika satu pihak memperjuangkan tentang sebuah sistem kehidupan yang demokratis/bebas maka pihak inipun harus menghormati kaidah-kaidah aturan yang diberikan/dibuat dari yang menentang (pro demokrasi harus menghormati anti demokrasi). Jika sudah saling memahami maka akan timbul saling penghormatan. Dalam prosesnya rasa penghormatan yang tercipta ini secara tidak langsung akan menciptakan sebuah proses dan tatanan lain yang artinya ada batas-batas tertentu tanpa harus menimbulkan pergeseran atau friksi yang justru bersifat paradoks.
Kembali pada konteks tentang sikap ekspresi, opini atau pendapat, maka titik temu dari perjalanan narasi ini adalah, bahwa kebebasan beretorika harus siap dengan suatu konsekuensi, dan konsekuensi itu harus diterima dan menghormati kebebasn dalam persoalan adanya pertentangan lain. Satu dengan kebebasan satu lagi dengan alibi kebebasan untuk tetap memelihara aturan dan batasan.
Sebuah proses ruwet dan terkesan berputar-putar, selama proses penulisan ini dibuat, dan saya sedangpun berpikir bagaimana memola ini dan itu, tentang, apakah perlu atau tidaknya sebuah aturan batas berkebebasan ? karena jika ada yang mengatakan tidak perlu, sama artinya memiliki pertentang pada pemahaman kebebasan itu sendiri.
EMPATI TERBELI
By : kontributorTAK BERMODAL
By : kontributorPanggung gratis di pinggir jalan
tersenyum lebar berpeci hitam
beragam fose tanganpun diekspresikan
semata-mata cuma iklan jalanan
Apapun rupa warna rumahmu
seperti apapun misimu tetap tak enak
dipandang karena yang terpampang
hanya pencitraan
Sepertinya mereka hanya butuh panggung
panggung untuk sandiwara
di lima tahun sekali, mengabdi hanya untuk diam diri
tanpa celoteh mengoceh perjuangkan aspirasi
Kasihan sekali mereka
seperti pengemis jalanan, meminta empati ditengah keramaian. Ini bukan lelucon, ini serius, mereka penjaja suara untuk duduk disingasana.
Singgasana empuk yang banyak todongan kanan dan kiri, sekali duduk bisa terlelap, bermimpi dalam kemegahan diantara penderitaan rakyat yang sedang kelaparan.
Lihatlah pohon,
dimana disebrangnya ada tiang listrik
ini adalah mangsa dari pada badut-badut
yang haus kursi.
Lihatlah pos dan mushola
atau bahkan sekolah-sekolah
inipun mangsa dari pada yang sedang mencari kekuasaan
Bagi mereka,
setiap tempat adalah aset, untuk mengeruk dan mendulang suara, biar kata rusak yang penting jadi alat, alat peraga dan propaganda.